Lingkungan

50 Sertifikat Hak Penggunaan Bangunan Dicabut di Area Pagar Pantai Tangerang

Lima puluh sertifikat hak guna bangunan dicabut di Tangerang, mengancam mata pencaharian nelayan dan memicu kerugian ekonomi besar. Apa selanjutnya?

Kami telah menyaksikan penarikan 50 sertifikat hak guna bangunan di area pagar pantai Tangerang, sebuah langkah jelas oleh pemerintah untuk menegakkan regulasi pesisir. Tindakan ini berasal dari cacat prosedural dan material dalam sertifikasi asli, berdampak tidak hanya pada struktur tetapi juga pada nelayan lokal yang mengandalkan perairan ini untuk mata pencaharian mereka. Dengan akses ke area penangkapan ikan yang vital terbatas, komunitas kini menghadapi tantangan ekonomi serius, termasuk kerugian yang diproyeksikan hingga Rp9 miliar. Saat penyelidikan berlanjut untuk mencari pertanggungjawaban, implikasi dari perubahan regulasi ini mengungkapkan masalah yang lebih dalam yang layak untuk dijelajahi lebih lanjut.

Ikhtisar Pencabutan Sertifikat

Saat kita menggali pembatalan sertifikat hak penggunaan bangunan di Tangerang, sangat penting untuk memahami implikasi dari keputusan ini.

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mencabut 266 sertifikat SHGB dan SHM karena cacat prosedural dan material. Sertifikat-sertifikat ini dinyatakan tidak valid, karena meliputi area yang melewati garis pantai, bertentangan dengan regulasi pesisir yang melarang privatisasi tanah-tanah tersebut.

Selaras dengan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2021, ATR/BPN dapat membatalkan sertifikat yang dikeluarkan dalam lima tahun terakhir tanpa keterlibatan pengadilan. Tindakan ini menekankan pentingnya keabsahan sertifikat dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam menegakkan regulasi batas pesisir.

Penyelidikan yang sedang berlangsung bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam proses sertifikasi, memastikan kepatuhan terhadap regulasi-regulasi penting ini.

Dampak pada Komunitas Lokal

Pencabutan sertifikat hak penggunaan bangunan di Tangerang bertujuan untuk memperkuat regulasi pesisir, namun dampaknya terhadap komunitas lokal—khususnya nelayan—sangat signifikan dan mengkhawatirkan.

Sekitar 3.888 nelayan lokal kesulitan karena pagar pesisir membatasi akses ke area penangkapan ikan yang vital, mengancam mata pencaharian mereka. Perkiraan ekonomi menunjukkan bahwa pembatasan ini dapat menyebabkan kerugian hingga Rp9 miliar, memaksa nelayan untuk bepergian lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan mereka.

Situasi ini telah memicu mobilisasi komunitas, dengan protes yang mencerminkan frustrasi mereka yang terdampak. Nelayan lokal secara aktif membongkar struktur yang tidak sah, menunjukkan tekad mereka untuk merebut kembali akses pesisir dan sumber daya kelautan.

Saat pemerintah menyelidiki legalitas pagar ini, implikasi sosial-ekonomi bagi komunitas kita tidak boleh diabaikan; kami berhak atas kompensasi yang adil dan akses yang dipulihkan.

Tanggapan Pemerintah dan Hukum

Perjuangan komunitas lokal menyoroti perlunya respons pemerintah yang kuat terhadap pencabutan sertifikat hak guna bangunan baru-baru ini di Tangerang.

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengutip cacat prosedural dan material sebagai alasan untuk membatalkan 266 sertifikat, menimbulkan kekhawatiran kritis tentang kepemilikan tanah dan kepatuhan terhadap regulasi.

Konsentrasi kepemilikan di antara beberapa entitas, termasuk PT Intan Agung Makmur, menunjukkan adanya kemungkinan ketidakberesan dalam proses penerbitan.

Seiring dengan berlangsungnya investigasi, kita harus mendorong akuntabilitas di antara pejabat yang terlibat dalam sertifikasi.

Kita juga harus menyerukan kepatuhan ketat terhadap standar etika dalam praktik pengukuran tanah.

Tindakan tegas pemerintah sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan dan memastikan hak tanah yang adil bagi komunitas, memperkuat pentingnya tata kelola yang transparan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Trending

Exit mobile version